Gandrang Bulo, kesenian rakyat yang menggabungkan unsur musik, tarian dan dialog kritis nan kocak ini masih cukup diminati penonton. Bagi para senimannya, panggung menjadi tempat berkisah mengenai masalah hidup mereka sehari-hari.
Malam mulai bergeser. Pertengahan Juni lalu, saat jarum jam menunjukkan pukul 22.00 grup Remaja Paropo mulai naik ke atas panggung. Nampak penonton mulai bersorak sorai menyambut penampilan Gandrang Bulo, kesenian tradisi rakyat Makassar yang malam itu tampil mengisi acara perkawinan di desa Paropo, di pinggiran kota Makassar.
Tak lama kemudian empat pemuda dengan sebatang bambu di tangan mulai menggerakkan tangan dan kakinya dalam tempo cepat dan rancak. Apalagi diiringi tabuhan gendang dan alunan biola yang mengalun riang serta lirik lagu khas Makassar Sumbang Kacayya yang aduhai. Tak heran bila gerak dinamis tarian Gandrang Bulo itu pun mampu membetot mata penonton. Seperti tarian Gandrang Bulo yang kerap mengisi acara-acara seremonial macam penyambutan pejabat-pejabat penting negara atau pembukaan even-even politik seperti kampanye, kongres atau munas organisasi dan partai politik.
Tapi, malam itu nampak berbeda. Penampilan Gandrang Bulo makin menyedot perhatian penonton ketika para penarinya seperti tampil di panggung Srimulat dengan melontarkan joke-joke segar nan kocak yang membuat para penontonnya terpingkal-pingkal. Tak jarang kisah-kisah humor mereka bawakan, diselingi dengan celetukan-celetukan kritis dan gerak tubuh yang membuat penonton ger-geran. Sasaran guyonan mereka pun tak pandang bulu, mulai dari pejabat pemerintah, tentara, dokter, sampai kepala desanya. Demikian juga tema-tema yang diangkat mulai dari politik hingga berbagai peristiwa yang mereka alami sehari-hari.
Respon kondisi sosial
“Gandrang Bulo menjadi tempat mengeluarkan unek-unek mereka, merespon kondisi sosial di sekitarnya,” demikian kata Djumakkara. Menurut pimpinan grup Gandrang Bulo Remaja Paropo ini, sebagian besar seniman Gandrang Bulo berasal dari masyarakat pinggiran yang acapkali menghadapi kesulitan-kesulitan saat berhadapan dengan para pejabat seperti kepala desa, tentara, dokter atau oknum-oknum pemerintah yang tak menghiraukan mereka.
“Merasa tak berdaya mereka tak menyikapi langsung dalam kehidupan nyata, tapi dengan cerdas menampilkannya di atas panggung,” lanjut Djumakkara.
Seperti nampak dalam pentas malam itu, Gandrang Bulo membawakan dotto dottoro atau lakon tentang dokter.
Seseorang yang berpakaian dokter nampak bercakap-cakap dengan pasiennya, yang sayangnya sang pasien tak memahami bahasa si dokter. Lalu datanglah si mantri menjadi penerjemah. Celakanya si mantri kampung itu justru memanfaatkan kebodohan sang pasien. Ketika sang dokter, dengan bahasa asing pula, meminta bayaran, sang mantri menyampaikan kepada sang pasien dengan harga dua kali lipat. Sang pasienpun manggut-manggut lalu menyodorkan beberapa lembar uang sambil menggerutu: “alle dokttoro pallabusu doi!”, ambillah dokter pengeruk uang, katanya. Tak hanya berhenti di situ. Si dokter lantas mengeluarkan perlengkapan medisnya, sebuah alat suntik dan alat bedah. Namun, yang tak lazim, ternyata alat bedahnya sebuah gergaji dan tang runcing serta alat suntiknya dari semprot serangga. Si pasien pun melihat kaget, terbelalak, dan pingsan!
Lakon dotto-dottore ini berhasil mengundang gelak tawa. Nampak pula penonton puas dan lega menyaksikan setiap adegan pertunjukan. “Cocoki taua, dottoroa puna rakya’mo na cini teami tau, na cini kelinci percobaan mamii (Pas betul lakon ini, karena memang biasanya dokter melihat rakyat jelata sekedar kelinci percobaan),” ujar seorang Ibu muda yang rela menonton berdesak-desakan malam itu.
Kisah ini juga diamini Hamindo, personil Gandrang Bulo Remaja Paropo. Menurut dia, lakon dokter yang diperankan seniman Gandrang Bulo bertujuan mengkritisi ahli medis modern yang kerap mengeksploitasi pasien dan memperlakukannya sebagai objek pengobatan. “Ini tidak muncul begitu saja, tapi kami sebagai rakyat pinggiran memang sering mengalami. Kami tak pernah didengar,” tutur Hamindo tandas.
Ya, suara kaum pinggiran, mungkin itu yang hendak ditandaskan para seniman Gandrang Bulo ini. Masyarakat pinggiran yang ternyata memiliki cara sendiri dalam merespon berbagai tekanan sosial dan struktural yang menimpanya. Lewat Gandrang Bulo, mereka secara satiris menertawakan kehidupan dan menggugat persoalan dalam rupa humor yang menghibur.
Diterpa perubahan
Pada awalnya Gandrang Bulo sebenarnya sekadar tarian yang diiringi oleh gendang. Seiring waktu tarian ini diiringi pula lagu-lagu jenaka, dialog-dialog humor namun sarat kritik dan ditambah gerak tubuh yang mengundang tawa. Kadangpula diselipkan Tari Se’ru atau Tari Pepe pepeka ri makka yang acap kali tampil sendiri di berbagai panggung pertunjukan, namun begitu oleh masyarakat sekitar tetap saja ia dikenal sebagai bagian pertunjukan Gandrang Bulo.
Menurut Dg Naba, salah seorang seniman Gandrang Bulo di Makassar saat ini, perubahan Gandrang Bulo bukanlah hal yang aneh. Lantaran perubahan itu, tuturnya, untuk merespon dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Sekitar 1942, misalnya, ketika perang melawan penjajah berkobar, kaum seniman pun tak mau kalah. Mereka membangun basis-basis perlawanan dari atas panggung. Gandrang Bulo pun disulap bukan sekadar tari-tarian, melainkan tempat pembangkit semangat perjuangan dengan mengejek dan menertawakan penjajah dan antek-anteknya. Gandrang Bulo, ketika itu, lantas menjadi kesenian rakyat yang amat populer.
Baru sekitar akhir 1960-an, Gandrang Bulo mengalami kreasi ulang. Menurut Kalimuddin Dg Tombong yang juga seorang seniman asal Gowa, kreasi baru itu dikomandani oleh Dg Nyangka, seniman asal Bontonompo, Gowa. Mulai saat itu Gandrang Bulo dikenal dalam pentas-pentas tarian dalam acara-acara seremonial. Gandrang Bulo macam inilah yang belakangan ini kerap tampil di acara-acara resmi pemerintah maupun partai-partai politik.
Namun begitu, meski diterpa berbagai perubahan, toh Gandrang Bulo Ilolo Gading maupun Gandarng Bulo 1942 ini tak pernah kehilangan tempat. Grup-grupnya tersebar di berbagai tempat seperti Gowa, Makassar, Maros, dan Takalar. Gandrang Bulo, demikian mengutip Kalimuddin Dg Tombong, menjadi tempat bebas seniman kampung mengekspresikan problem mereka sehari-hari.
0 comments
Post a Comment