Dalam skripsi yang berjudul “ Hubungan Antara Gaya Konflik Dengan Penyesuaian Perkawinan ” yang ditulis oleh Ira Setiari Soerjani (1992) menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi dalam setiap hubungan antar-manusia, dalam usahanya menyesuaikan diri satu dengan yang lain, berusaha saling memahami satu sama lain, manusia akan selalu menghadapi kenyataan bahwa orang lain adalah individu yang berbeda dengan dirinya (Eshelman, 1985; Myers, 1988). Dikatakan oleh Blood dan Blood (1987):
“ Two people is two people, essentially different. They never have exactly the same perspective”
Dalam skripsi tersebut disebutkan pula beberapa pengertian konflik, diantaranya yaitu menurut Myers (1998), konflik sebagai ketidaksesuaian yang dirasakan atas berbagai tindakan atau tujuan (Myers, 1988). Sedangkan menurut Joyce L. Hocker dan William W.Wilmot (1985) dalam buku mereka Interpersonal Conflict, konflik adalah suatu pertentangan atau perdebatan, yang diungkapkan, antara paling sedikit dua pihak yang saling tergantung, dimana mereka saling mempersepsikan adanya ketidaksesuaian tujuan, ketiadaan tingkah laku (imbalan) yang menyenangkan, dan adanya campur tangan pihak lain dalam mencapai tujuan.
Elemen-Elemen Konflik
Menurut Hocker dan Wilmot (1985) dikutip dari skripsi yang berjudul “ Hubungan Antara Gaya Konflik Dengan Penyesuaian Perkawinan ” yang ditulis oleh Ira Setiari Soerjani (1992), elemen-elemen konflik yaitu:
a. Pertentangan yang diungkapkan atau diekspresikan (an expressed strggle)
Pertentangan jenis ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara verbal maupun nonverbal. Secara verbal, pihak yang bertentang saling menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan baik secara lisan maupun terlihat dari sikapnya. Sedangkan secara nonverbal ditunjukkan dengan cara menghindari pertemuan dengan pihak atau seseorang yang sedang mengalami konflik (menghindari pertemuan yang dilakukan secara halus).
b. Persepsi ketidaksesuaian/ketidakcocokan tujuan (preceive incompatible goals).
Konflik bisa terjadi apabila seseorang mempersepsikan tujuan seseorang yang lain berbeda atau bertentangan dengan tujuan yang dimilikinya, walaupun persepsi tersebut belum tentu tepat.
c. Persepsi rendahnya tingkah laku/imbalan yang menyenangkan (perceive scarce rewards)
d. Campur tangan atau perintangan (interference)
Dua individu dapat dikatakan terlibat konflik jika kedua belah pihak saling mencampuri atau menghalangi pencapaian tujuan masing-masing. Konflik biasanya selalu disertai aktivitas campur tangan dan perintangan yang dapat muncul melalui berbagai bentuk.
e. Saling ketergantungan
Campur tangan atau perintangan tersebut hanya muncul karena kedua belah pihak memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan. Seseorang yang tidak tergantung pada orang lain yaitu yang tidak memiliki minat khusus terhadap apa yang dilakukan seseorang yang lain, maka ia tidak memiliki konflik dengan orang tersebut.
Konflik Perkawinan
Menurut Strong et al (1983) dikutip dari skripsi yang berjudul “ Hubungan Antara Gaya Konflik Dengan Penyesuaian Perkawinan ” yang ditulis oleh Ira Setiari Soerjani (1992), sumber konflik perkawinan terdiri dari :
a. konflik situasional
Konflik ini merupakan konflik yang paling sering muncul, yang menyangkut ketidaksepakatan dalam masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Kadang-kadang konflik ini dapat terjadi tanpa terduga dan kadang hanya karena kesalahpahaman kecil. Konflik juga dapat terjadi karena seseorang memberi komentar pada pasangannya disaat yang tidak tepat sehingga pasangannya tersebut merasa menerima kritik yang tajam dan merasa diremehkan.
b. Konflik kepribadian
Konflik biasanya terjadi karena seseorang cenderung memiliki kadar penerimaan yang kurang terhadap kebiasaan, keyakinan, maupun nilai-nilai yang dianut pasangannya sehingga ia merasa terganggu
c. Konflik struktural
Konflik ini berkisar pada masalah pembagian kewenangan tentang siapa yang berhak mengambil keputusan atau siapa yang seharusnya melakukan sesuatu. Konflik biasanya terjadi karena keputusan yang diambil satu pihak tidak didukung atau melegakan pihak lain sehingga pihak yang tidak sependapat tersebut melakukan pemboikotan atau kudeta terhadap keputusan pihak tersebut.
Hurlock (1980) yang dikutip dari skripsi yang berjudul “ Hubungan Antara Gaya Konflik Dengan Penyesuaian Perkawinan ” yang ditulis oleh Ira Setiari Soerjani (1992), menambahkan kondisi-kondisi berikut, yang berpengaruh terhadap proses penyesuaian perkawinan, yakni :
1. Jumlah anak
Kasus perceraian cenderung ditemukan di antara pasngan-pasangan tanpa anak atau pasangan-pasangan tanpa anak atau pasngan-pasangan dengan sedikit anak, dibandingkan pasangan dengan keluarga yang besar. Hal ini disebabkan karena pasangan-pasangan tanpa atau dengan sedikit anak emrasa lebih sanggup mengatasi kekecewaan dan kesulitan-kesulitan bila mereka bercerai.
2. Kelas Sosial
Perceraian ditemukan lebih banyak terjadi pada golongan sosial ekonomi menengah dan golongan sosial ekonomi atas, sementara pada golongan sosial ekonomi rendah yang banyak terjadsi adalah salah satu pasangan meninggalkan keluarga begitu saja.
3. Kesamaan latar belakang
Perceraian lebih banyak terjadi di antara pasangan-pasangan yang mempunyai perbedaan latar belakang budaya, bangsa, agama atau sosial ekonomi dibandingkan di antara mereka dengan kesamaan latar belakang. Ditemukan penyesuaian yang lebih sulit terhadap keluarga pasangan pada mereka yang berasal dari bangsa atau agama berbeda dibandingkan pada pasangan dengan latar belakang yang sama.
4. Usia saat menikah
Perceraian lebih banyak terjadi pada pasangan yang menikah pada usia muda, saat mereka belum mantap dalam hal materi. Hal ini disebabkan mereka merasa mudah untuk menikah lagi, mereka juga mudah digoyahkan oleh masalah finansial yang menyebabkan penyesuaian perkawinan semakin sulit, serta biasanya mereka yang berusia muda memiliki konsep yang terlalu muluk tentang perkawinan, yang sering membawa kekecewaan.
5. Alasan menikah
Pada mereka yang menikah dengan alsaan-alasan yang negatif atau kurang tepat seperti misalnya karena kehamilan di luar nikah, karena keinginan untuk melarikan diri dari masalah yang ada atau karena semata-mata ingin menghindari perasaan kesepian, kemungkinan perceraian diperkirakan lebih tinggi.
6. Urutan kelahiran
Laki-laki yang merupakan anak tunggal memiliki tingkat perceraian yang tergolong paling tinggi, sementara anak perempuan tunggal memiliki tingkat perceraian paling rendah.
7. Konsep yang kurang realistis tentang perkawinan
Seseorang seringkali mengembangkan konsep yang kurang realistis, dalam arti memiuliki optimisme yang berlebihan dan menaruh harapan terlalu tinggi terhadap perkawinan yang akan ia jalani. Hal ini mengakibatkan timbulnya kekecewaan jika apa yang diharapkan kemudian tidaks esuai dengan kenyataan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi bertahannya suatu pernikahan:
Resiko bercerai bergantung dari siapa menikah dengan siapa (Fergusson & others, 1984; Myers, 1995; Tzeng, 1992). Dalam buku Social Psychology karangan Myers (1996:519) menyatakan bahwa orang dapat bertahan dalam pernikahan jika mereka:
a. menikah setelah di atas 20 tahun
b. hidup dalam keluarga yang stabil (orangtua ada di rumah)
c. sudah mengenal lama sebelum menikah
d. mendapat pendidikan yang baik dan sama
e. menikmati penghasilan dari pekerjaan yang baik
f. tidak hamil di luar nikah
g. kesamaan usia, keyakinan dan pendidikan
Berdasarkan penelitian, terdapat beberapa faktor yang ikut menentukan bertahan lamanya suatu perkawinan, yaitu mereka menikah di atas usia 20 tahun, dua-duanya berasal dari keluarga dengan sepasang orang tua yang cukup stabil, tinggal di kota kecil atau pedesaan, tidak berhubungan seks atau hamil di luar nikah, taat beragama dan sama dalam usia dan kepercayaan (Mayers, 1996 dalam Sarwono, 2002). Satu penelitian di Indonesia menambahkan satu faktor lagi, yaitu tidak ada perasaan terancam (dari pihak ketiga) dalam hal hubungan perkawinan tersebut (Sarwono, Biran, Octarina, 1994 dalam Sarwono, 2002).
Dalam buku Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial (2002: 222) disebutkan sumber-sumber konflik yang dapat mengganggu hubungan antar pribadi, antara lain adalah perilaku-perilaku tertentu seperti tidak dapat dipercaya (Buss, 1989), watak yang tidak menyenangkan, emosi yang tidak (Cotterell, Eisenberger & Speicher, 1992), ketidaksamaan yang terungkap dalam sikap, kebiasaan, nilai dan sebagainya (Byrne & Murnen, 1983), kebosanan (Hill, Rubin, Peplau, 1976), kata-kata dan perbuatan ayng positif (sayang, manis dan sebagainya) mulai diganti dengan yang negatif (makian dan lain-lain) (Margolin, John & O’Brien, 1989), dan saling menyalahkan (Bradbury & Fincham, 1992).
Pasangan muda berharap banyak dari pernikahan. Young adult yang tinggal jauh dari keluarga mereka, berharap bahwa pasangannya itu dapat menggantikan orang tua dan teman-teman mereka untuk dapat memberikan kepercayaan dan rasa cinta. Konflik antara harapan yang dimiliki pasangan tersebut dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan mereka (Papalia, 2004:517).
0 comments
Post a Comment